Senin, 05 Januari 2009

GOLPUT : HALAL ATAU HARAM ?


Ketua MPR pada Desember 2008 lalu mengusulkan ke MUI agar membuat fatwa haramnya golput. Pernyataan ini menimbulkan polemik, benarkah golput sudah pada level yang sangat membahayakan sehingga sampai meminta ke MUI mengharamkan golput atau dengan kata lain mewajibkan umat Islam ikut memilih pada Pemilu 2009 ataukah begitu keraskah persaingan politik sehingga perlu adanya fatwa untuk mendongkrak partai yang menyatakan dirinya sebagai partai Islam atau berbasis Islam saat berhadapan dengan partai yang biasa disebut golongan nasionalis.
Sebenarnya fatwa politik itu bukan sesuatu yang baru, dulu pada pemilu pemerintahan orde baru ada fatwa wajibnya mendukung Masyumi sebagai cerminan partai Islam. Sedang pada awal pemerintahan orde baru berkuasa, muncul fusi partai – partai Islam dalam PPP, lantas muncul fatwa sebagaian ulama tentang wajibnya memilih partai Islam yang diwakili oleh PPP dengan lambing ka`bah yang sacral bagi umat islam.
Apa sebenarnya hokum memilih dalam Pemilu ? Apakah wajib, sunnah, makruh, halal ataukah malah haram ? Dengan menggunakan kaidah, akan kewajiban mendirikan kepemimpinan, dengan demikian saeana untuk mewujudkan kepemimpinan menjadi adanya, mereka yang tidak mau melibatkan diri dari proses untuk membentuk kepemimpinan berarti meninggalkan kewajiban, artinya golput menjadi haram. Pendapat ini memang sepertinya benar dan sangat logis, kaidah itu sudah dikenal oleh umat islam bahkan sejak santri belajar ushul fiqih ditingkat awal akan mempelajari kaidah ini, namun apakah harus difahami sesederhana itu ?

Mengaplikasi kaidah fiqih ke dalam suatu produk hukum halal atau haram tidak sesederhana itu. Membentuk kepemimpinan itu wajib menurut ijma` ulama, namun yang harus difahami, apakah kewajiban memilih pemimpin itu sebagai kewajiban untuk semua umat islam (Wajib ain) atau sekedar kewajiban yang bersifat umum (khifayah).
Kewajiban memilih hanya dibebankan kepada mereka yang dikenal sebagai ahlul hali wal aqdi, bukan kepada seluruh umat. Mengapa demikian ? karena tidak semua umat islam mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang masalah – masalah kenegaraan, jika mereka yang awam dan tidak mempunayi ilmu maka akan melahirkan pilihan – pilihan tanpa ilmu, mereka akan memberikan dukungan tanpa ilmu hanya didasarkan ikatan emosional saja, seperti memilih pemimpin karena kesamaan kedaerahan (ashobiyah), karena kesamaan golongan dan kelompok (hizbiyah), atau bahkan memilih karena pesona iklan di TV, seperti memilih yang tampan dan cantik saja. Yang lebih memprihatinkan lagi memilih karena uang.
Dalam ajaran Islam dikenal dengan syuro. Sebagian aktifis partai yang mengaku dari ”Partai Islam” menafsirkan syuro sebagai demokrasi, maka kesimpulan mereka pemilu (election) bagian dari syuro.Penafsiran seperti ini tentu menyimpang dari teks ayat Al Qur`an itu sendiri ”Dan (bagi) orang – orang ayng menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan Sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Asy – Syuraa : 38). ”Dan bermusyawarah dalam urusan itu” (Alimron 159, Rasanya memang aneh, ayat yang dijadikan untuk ikut pemilu bahkan mewajibkannya sebenarnya sebagai ayat yang menolak adanya Pemilu, karena syuro (musyawarah) yang dilakukan dengan syarat ”bagi mereka yang patuh kepada Allah dan mendirikan sholat” sedang pemilu melibatkan semua orang baik yang pandai, alim, jahil, fasiq, pemabuk dan seterusnya.
Bukankah jika golput dibolehkan bahkan dianjurkan atau diperintahkan, bukankah nanti tidak ada pemerintahan padahal membentuk pemerintah karena umat islam yang mayoritastidak mau memilih, padahal membentuk pemerintahan hukumnya wajib. Memang jika mayoritas umat islam memiliki pemilu akan gagal, tetapi bukan berarti tidak ada kepemimpinan negara. Kepemimpinan akan tetap ada, karena pemilu bukan satu – satunya cara untuk memilih kepemimpinan, bukankah akan lebih baik jika umat islam mengamalkan syuro dalam memilih kepemimpinan sebagaimana yang disebutkan dalam ayat diatas,yang lebih cepat, sederhana dan hemat biaya akan lebih baik. Beda dengan Pemilu menghabiskan puluhan trilyun dengan resiko tinggi, belum lagi pemilu lokal (pilkada dan pilgub) yang rawan dengan konflik. Contohnya warga Tuban akan selalu ingat massa yang membakar pendapa Kabupaten Tuban pasca pilkada, tragedi yang menjadi bukti bahwa demokrasi yang dibanggakan kader partai bisa menciptakan noda bagi peradaban.
Akhirnya, sebagai umat islam kembali kepada Al Qur`an dan As Sunnah sebagai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dan difahami para sahabat yang mulia. Janganlah mengharmkan Allah dan Rasulnya, tetap diatas ukuwah islamiyah dan jangan berpecah – pecah dalam berbagai kelompok. Serta dalam kerangka ”ketaatan terhadap pemerintah” hendaknya umat islam patuh dengan Undang – Undang, memilih merupakan hak, bukan kewajiban, yang didalamnya ada penghargaan terhadap ”hati nurani” rakyat, dan kebebasan beragama, yakni bagi mereka yang tidak ingin ikut memilih karena yakin bahwa pemilu bukan sarana yang baik, karena ada yang lebih baik karena syuro.
(Sumber oleh : Abu Fatimah Tamami.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar